Serangan bom bunuh diri menjadi senjata pilihan bagi kelompok teroris karena kemampuannya yang mematikan dan menciptakan kekacauan serta ketakutan. Inilah pilihan janggal ‘manusia terpilih’.
Berdasarkan sumber data serangan bunuh diri milik Flinders University, Australia, bom bunuh diri di Irak, Palestina-Israel, Afganistan, Pakistan dan Sri Lanka menyumbang 90% serangan bunuh diri atau sekitar 14.559 kasus di dunia. Pertanyaan besar, kenapa?
Menurut Profesor Riaz Hassan dari Departemen Sosiologi di Flinder University, Adelaide , Australia , bukti tersebut menunjukkan alasan utama seseorang melakukan pengeboman bunuh diri berdasar kepada kepercayaan yang dianut.
Agama dan kepercayaan memainkan peranan penting dalam merekrut dan memotivasi seseorang. Meskipun begitu, di balik alasan kepercayaan, muncul kekuatan pendorong lain yaitu politik, unsur penghinaan, pembalasan dendam dan altruisme.
Terbaru, kasus bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon , Jawa Barat, membuat puluhan orang terluka termasuk Kaporesta Cirebon AKBP Herukoco. Pelaku adalah seorang pria dan dikabarkan tewas di lokasi kejadian.
Terlepas dari atribut demografi, bahwa mayoritas pembom bunuh diri adalah pria, unsur stabilitas ekonomi, psikologi seseorang, tingkat sosial ekonomi seseorang dan agama menjadi pertimbangan utama.
Contoh kasus lain adalah warga Palestina, Hanadi Jaradal, 29 tahun, yang meledakkan diri pada 4 Oktober 2003 di restoran Maxim, Haifa , Israel dan menewaskan 20 orang. Menurut keterangan keluarganya, Jaradal melakukan misi bunuh diri karena ingin membalas dendam atas pembunuhan kakak dan tunangannya yang dibunuh di Tepi Barat, Palestina, oleh warga Israel yang dianggap merebut tanah Palestina.
Riaz Hassan mengklaim biasanya, pelaku bom bunuh diri memiliki psikologi yang normal dan sangat loyal terhadap jaringan sosial ataupun komunitas mereka. Meskipun banyak pihak mengklaim bahwa pelaku bom bunuh diri cenderung gila, sebenarnya, inilah cara mereka menghalangi masyarakat awam menemukan alasan tindakan bom bunuh diri tersebut.
" Para pelaku bom bunuh diri menjadi agen identitas dari kelompok mereka. Bahkan, mereka didokrin untuk tidak mempedulikan diri sendiri ataupun orang lain,” tulis Vamik D Volkan, profesor psikologi di University of Virginia, Amerika Serikat, dalam jurnal di University of Virginia.
Yang terpenting bagi pelaku, tulis Volkan, adalah memiliki harga diri dan diperhatikan oleh kelompok mereka. David Van Biema dalam tulisannya di Time pada 2001 menyebutkan bahwa 70% warga Palestina di 2001 mendukung praktik bom bunuh diri.”
Hal ini juga diamini Riaz Hassan. Bom bunuh diri memiliki nilai simbolik tinggi karena kemauan pelaku meninggal menunjukkan dedikasi tinggi terhadap kelompok ataupun keyakinan mereka. Kerelaan untuk mati merupakan simbol dari perjuangan, dukungan terhadap kaum tertentu serta unsur ‘pembangkit’ tenaga bagi anggota baru untuk melakukan misi bunuh diri di masa depan.
Menurut Vamik, teknik khas Timur Tengah yang menciptakan pelaku bom bunuh diri mencakup dua langkah dasar. Pertama, mereka memiliki ‘guru’ yang mencari anak muda dengan tingkat kestabilan pribadi rendah. Artinya, anak muda itu memiliki kebutuhan tinggi untuk bergabung di sebuah kelompok tertentu agar merasa ‘diakui’.
Kedua, komplotan pelaku bom bunuh diri ini memiliki metode pengajaran yang memaksa suatu kelompok besar etnis atau kepercayaan untuk bergabung dengan mereka dan bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri dengan sukarela.
Manusia, pada dasarnya, memiliki keengganan yang kuat menghadapi ketidakadilan sehingga inilah yang mewujudkan fenomena balas dendam. Salah satu konsekuensi dari balas dendam adalah kemauan seseorang untuk sukarela mengorbankan diri dalam mewujudkan tujuan bersama.
Pertimbangan untuk melakukan balas dendam dapat muncul karena beberapa hal di antaranya meluruskan ketidakadilan, pemulihan nilai dari suatu komunitas berdasarkan sudut pandang individu dan merencanakan masa depan yang lebih baik.
Menurut Riaz Hassan lagi, dalam lingkup individu, berpartisipasi dalam misi bunuh diri bukan soal kematian dan pembunuhan saja tetapi mecakup banyak hal, dalam lingkup pribadi maupun komunal. Mereka berusaha menghapus penghinaan, penderitaan dan ketidakberdayaan suatu komunitas karena desakan kelompok mayoritas. Pengebom bunuh diri itu memandang dirinya sendiri sebagai penebus kehormatan kelompok.
sumber : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1427582/mengapa-bangga-jadi-pengebom-bunuh-diri